Maafkan kiki, ma...


"Ki... Tolongin mama sebentar dong."

Aku merungut sambil beringsut setengah malas. Beginilah nasib jadi anak satu-satunya di rumah. Sejak bang Edo kuliah di Jakarta, akulah yang jadi tempat mama minta tolong. Biasanya bang Edolah yang mengantar mama ke supermarket, ke pengajian, atau sekadar membawakan tas mama yang pulang dari kantor. Rajin ya ?

Memang begitulah abangku yang satu itu. Sedang aku ? Wuih, biasanya aku dengan bandelnya menghindar. Tapi sekarang aku sudah tidak bisa lari lagi.

"Ki, anterin mama ke rumahnya bu Dedi ya ? Ada arisan."

Aku hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Aduh, rasanya malas sekali harus menghabiskan berjam-jam bersama ibu-ibu. Belum lagi nanti ditodong pertanyaan, "Mana nih calonnya? Kan kuliahnya sudah tingkat akhir...". Risih saja ditanya hal-hal semacam itu.

"Mmm, ini Ma. Kiki mau belajar, nanti ujian." "Yah, Ki. Kan cuma sebentar. Paling dua jam..." "Soalnya bahannya banyak banget, Ma. Nanti Kiki dapat nilai jelek lagi." "Ya, sudah. Mama pergi sendiri..." Aku menunduk sambil pergi. Rasanya tidak enak melihat sinar kecewa di mata mama. Memang, sejak papa meninggal, mama makin sering minta ditemani ke mana-mana. Mungkin mama kesepian. Di hari kerja, mama disibukkan dengan urusan kantornya. Sedang di akhir pekan, mama selalu minta ditemani anak-anaknya. Kalau bang Edo sih anak manis. Dia mau saja menuruti keinginan mama. Kalau aku dilarang pergi di akhir pekan, rasanya seperti hukuman. Maklumlah aktivis. Kesempatan ada di rumah tidak terlalu banyak.

Aku masuk ke dalam kamarku dan mulai membuka buku. Sebetulnya aku tidak bohong sih. Memang akan ada ujian. Tapi sebenarnya masih dua minggu lagi. Jadi aku tidak bohong kan? Aku berusaha berkonsentrasi memahami apa yang tertulis di buku tebal itu. Entah kenapa pikiranku malah melayang-layang. Dari jauh terdengar derum mobil mama menjauh dari rumah. Ada perasaan bersalah yang menyelip di hatiku.
Akhir pekan berikutnya, bang Edo pulang ke Bandung. Aku sih biasa-biasa saja. Tapi, mama senang sekali. Semalam sebelumnya, mama memasakkan semua masakan kesukaan bang Edo. Ah, dasar anak kesayangan. Tapi aku tidak iri. Biarkan saja. Setidaknya akhir pekan ini aku bebas berkeliaran. Tugas jadi pendamping mama diambil alih bang Edo untuk minggu ini.

"Ki, kenapa sih kamu nggak mau nganterin mama ?", tanya bang Edo sambil mencomot sebuah pisang goreng dari atas meja. Aku hanya melirik sekilas dari komik yang sedang aku baca. "Ya, biarin aja. Mama kan udah gede. Pergi sendiri kan juga bisa."

"Masa kamu nggak kasian ? Mama tuh sedih banget lho sama kelakuan kamu."

"Kata siapa ?"

"Mama sendiri yang bilang."

"Kan bisa dianter supir. Masa abang nggak ngerti sih ? Urusanku kan banyakjuga."

"Huu... Mana, cuma baca komik gitu !"

Aku cuma bisa nyengir tersindir. Tak lama kemudian abang pergi bersama mama. Kelihatannya mereka akan pergi ke resepsi pernikahan. Habis, bajunya rapi sekali. Tawaran untuk ikut seperti biasa aku tolak.

"Ki, mama minta tolong dong..."

Aku menyumpalkan tangan ke telinga. Aduh, mama.... Belum sempat aku menjawab, mama sudah melongok ke dalam kamar. Aku hanya bisa meringis.

"Ki, tolong ambilin berkas kerja mama di bu Joko dong."

"Lho, kok bisa ada di bu Joko, Ma ?"

"Iya, tadi habis pulang dari kantor, mama mampir dulu ke sana. Kayaknya berkas-berkas itu ketinggalan deh di sana. Soalnya di mobil udah nggak ada. Bisa nggak kamu ambilin ?"

Aku melongo. Rasanya ingin teriak. Kali ini aku benar-benar sibuk ! Besok ada dua tugas yang harus dikumpulkan. Belum lagi sorenya ada ujian akhir. Mana sempat mampir-mampir ke rumah orang ? Mana sudah malam begini...

"Aduh, Mama.... Kiki bener-bener sibuk... Besok ada ujian dan tugas-tugas yang harus dikumpulin. Jadi..."

"Ya, udah kalo kamu nggak mau.", balas mama dengan ketus.

Aku hanya bisa menghembuskan nafas dan kembali mengerjakan tugasku.

"...Kamu tuh memang nggak pernah kasihan sama Mama...", bisik mama lirih dengan sedikit terisak.

Suara mama sedikit sumbang. Sepertinya mama sedang terkena flu. Aku menatap langit-langit dengan lesu. Dengan lemas akhirnya aku memanggil mama. "Iya deh Ma... Biar Kiki yang pergi..."

Gelap. Gelap sekali. Apalagi banyak lampu jalanan yang sudah mati. Jalanan jadi tidak jelas terlihat. Capek rasanya harus berusaha melihat. Itulah sebabnya aku tidak suka menyetir malam-malam.

Rumah Bu Joko sebenarnya tidak jauh dari rumah kami. Tapi karena sudah malam, palang-palang jalan di kompleks itu sudah diturunkan dan tidak ada penjaganya. Jadinya, aku harus mengambil jalan memutar yang letaknya cukup jauh. Kalau tidak salah, satu-satunya palang yang tidak ditutup ketika malam adalah... Ah, dari sini belok kiri. Astaghfirulllah... Ternyata ditutup juga... Aku membaringkan kepalaku di atas kemudi. Rasanya penat sekali. Entah, harus masuk ke kompleks ini lewat jalan yang mana. Akhirnya kususuri perumahan itu jalan demi jalan. Semuanya terkunci. Setelah setengah jam berputar-putar, barulah aku menemukan jalan masuknya. Jalan itu begitu sempit. Jika ada dua mobil berpapasan dari arah yang berlawanan, pastilah salah satunya harus mengalah.

Rasanya lega sekali ketika sampai di depan rumah bu Joko. Kutekan belnya sekali, tidak ada jawaban. Dua kali, tetap tidak ada jawaban. Tiga kali, empat kali, hasilnya tetap sama. Aku menunduk lesu. Jangan-jangan Mereka sudah tidur... Hampir saja aku berbalik pulang. Tapi kata-kata mama terngiang di kepalaku. "Tolong ya Ki... Soalnya berkas-berkas itu mau mama pakai untuk presentasi besok pagi." Akhirnya dengan menelan setumpuk rasa malu, kutekan lagi bel rumah mereka sambil mengucapkan salam keras-keras.

Dari belakang aku mendengar suara berdehem. Aduh, ada hansip. Aku menangguk basa-basi. Aduh, mama ! Bikin malu saja ! "Oh, kertas apa ya ?", tanya bu Joko dengan mata setengah mengantuk. Dasternya melambai-lambai kusut. Aku jadi tidak enak sendiri menganggu malam-malam begini. Menit-menit selanjutnya, kami berdua mencari-cari berkas yang dikatakan mama. Tidak hanya di ruang tamu. Tapi juga di ruang tengah, ruang makan dan dapur. Soalnya tadi mama juga mampir di tempat-tempat itu. Ternyata tetap saja hasilnya nihil. Lalu aku menelepon ke rumah.

"Ma, berkasnya nggak ada tuh. Mama simpan di map warna apa ?"

"He..he...he...Udah ketemu, Ki. Ternyata sama bi Isah diturunin dari mobil terus ditaruh di meja makan."

"Tau gitu kenapa nggak telpon Kiki ! Kiki kan bawa handphone !"

"Wah, maaf Ki... Mama nggak tahu kamu bawa handphone. Mama kira..."

"Ah, udahlah ! Mama nyusahin Kiki aja !"

Aku lantas membanting gagang telepon dengan sedikit kejam. Aku berbalik dan menemukan bu Joko menatapku dengan tatapan ngeri. Aku memaksakan sebuah enyum, minta maaf lalu pamit secepatnya.

Setengah ngebut aku memacu mobilku. Hujan rintik-rintik membuat ruang pandangku semakin sempit. Nyaris jam dua belas malam. Hah, dua jam terbuang percuma. Kalau dipakai untuk mengerjakan tugas, mungkin sekarang sudah selesai... Dasar mama ...

Brakkk!!! Tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras. Bunyinya seperti kaleng yang robek. Sesaat aku merasa semuanya semakin gelap. Aku tidak bisa lagi membedakan mana atas dan bawah. Sekujur tubuhku seperti dihimpit dari berbagai arah. Sejenak kesadaranku seperti lenyap.

Penduduk-penduduk sekitar mulai berdatangan. Mereka membantuku keluar dari mobil yang sepertinya ringsek parah. Mataku dibasahi sesuatu. Ketika kusentuh, rasanya lengket. Ya Tuhan, darah... Tubuhku lebih gemetar karena takut daripada karena sakit.

"Neng, nggak apa-apa neng ?", tanya seseorang.

Aku berusaha berdiri walau sempoyongan. Kucoba menggerakkan tangan, kaki, serta mencek apakah semuanya masih ada. Kupejamkan mata dan berusaha mencari sumber sakit. Sepertinya tubuhku baik-baik saja. Tidak ada yang patah.

Aku menatap rongsokan mobilku dengan tidak percaya. Ternyata aku menabrak sebuah truk besar yang sedang diparkir di pinggir jalan. Sumpah, aku tidak melihatnya sama sekali tadi !
"Neng, nggak apa-apa ?", ucap seseorang mengulangi pertanyaannya.

Aku berusaha menjawab. Tapi yang terasa malah sakit dan darah. Orang di hadapanku lalu mengucap istighfar. Barulah aku sadar apa yang menyebabkannya. Darah segar berlomba mengucur dari mulutku. Lidahku... Aku langsung tak sadarkan diri.

Ketika tersadar, aku sudah berada di rumah sakit. Rasa nyeri mengikuti dan menghajarku tanpa ampun. Air mata menetes dari mataku... Ya Tuhan, sakit sekali....

"Udah, Ki. Jangan banyak bergerak. Dokter bilang kamu butuh banyak istirahat."

Aku hanya bisa menatap mata mama yang sembab tanpa bisa menjawab sepatah kata pun. Hanya bisa mengeluarkan suara merintih yang menyedihkan. Mama ikut menangis mendengarnya. Aku hanya bisa mengira-ngira. Dan dokter pun membenarkannya. Kecelakaan itu tidak mencederaiku parah. Tidak ada tulang yang patah, tidak ada luka dalam. Hanya satu, lidahku nyaris putus karena tergigit olehku ketika tabrakan terjadi. Akibatnya aku lidahku harus dijahit.

Sayangnya tidak ada bius yang bisa meredakan sakitnya. Setelah itupun dokter tidak yakin aku bisa berbicara selancar sebelumnya. Tangisku meluber lagi. Yang langsung teringat adalah setumpuk kata-kata dan perilaku kasar yang selama ini kulontarkan pada mama. Ini betul-betul hukuman dari Tuhan ... Walau sepertinya hanya luka ringan, namun sakitnya teramat sangat. Setiap kali jarum disisipkan dan benangnya ditarik, sepertinya nyawaku dirobek dan dikoyak-koyak. Aku hanya bisa melolong tanpa bisa melawan. Apa boleh buat. Kata dokter kalau lukanya di tempat lain, sakitnya mungkin bisa diredam dengan bius. Tapi tidak bisa jika lukanya di lidah.

Hari-hari selanjutnya betul-betul siksaan. Lupakanlah tentang kuliah, tugas atau ujian. Untuk minum saja aku tersiksa. Aku menjerit-jerit tiap ada benda yang harus melewati mulutku. Agar tubuhku tidak kekurangan cairan, tubuhku dipasangi infus. Aku hanya bisa menangis. Menangis karena sakit, dan penyesalan. Selama aku dirawat, mamalah yang dengan telaten menungguiku. Dengan sabar ia membantuku untuk apapun yang aku perlukan.

Kami hanya bisa berkomunikasi lewat sehelai kertas. Berkali-kali aku tuliskan, "Mama, maafkan Kiki..." Mama juga sudah berkali-kali mengatakan telah memaafkan aku. Tapi tetap saja rasa bersalah itu tak kunjung hilang. Ini benar-benar peringatan keras dari Tuhan. Aku benar-benar malu. Walau aktif di kegiatan keagamaan, ternyata nilai-nilai itu belum benar-benar mengalir dalam darahku. Aku tersenguk-senguk setiap ingat bagaimana cara aku memperlakukan mama.

Bagaimana mungkin aku merasa diberatkan dengan permintaannya padahal aku sudah menyusahkannya seumur hidup? Tuhan, ampuni aku... Aku benar-benar telah membelakangi nuraniku sendiri.... Jangan biarkan aku mati sebagai anak durhaka.... Kukira penderitaanku berakhir jika sudah diizinkan pulang ke rumah. Ternyata hukuman ini belum berakhir di situ. Bulan-bulan selanjutnya aku harus berlatih mengucapkan kata-kata yang selama ini mengalir mudah dari bibirku. Kembali lagi mama membimbingku belajar bicara seperti yang ia lakukan ketika aku kecil.

Himpitan penyesalan itu baru hilang ketika kata-kata itu berhasil kuucapkan walau patah-patah. "Mama... Maafkan Kiki..."

Read More
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Tanganmu bergetar Ibu...


Tahun yang lalu, ketika ibu saya berkunjung, ia mengajak saya untuk berbelanja bersamanya karena dia membutuhkan sebuah gaun yang baru. Saya sebenarnya tidak suka pergi berbelanja bersama dengan orang lain, meskipun itu ibu saya. Saya bukanlah orang yang sabar. Tapi, kami putuskan juga berangkat ke pusat perbelanjaan tersebut. Kami mengunjungi setiap toko yang menyediakan gaun wanita. Dan ibu saya mencoba gaun demi gaun dan mengembalikan semuanya. Seiring hari yang berlalu, saya mulai lelah, gelisah, dan ibu mulai frustasi.

Akhirnya pada toko terakhir yang kami kunjungi, ibu mencoba satu stel gaun biru yang cantik, terdiri dari tiga helai. Pada blusnya terdapat sejenis tali di bagian tepi lehernya. Dan karena ketidaksabaran saya, maka untuk kali ini saya ikut masuk dan berdiri bersama ibu saya dalam ruang ganti pakaian. Biar semuanya cepat beres. Saya melih at bagaimana ia mencoba pakaian tersebut, dan dengan susah mencoba untuk mengikat talinya.

Ternyata, Tuhan..., tangan-tangannya sudah mulai dilumpuhkan oleh penyakit radang sendi. Dan ibu dia tidak dapat menalikan gaun itu. Seketika ketidaksabaran saya digantikan oleh suatu rasa kasihan yang begitu dalam kepadanya. Dada saya sesak, napas aya panas. Saya berbalik pergi dan mencoba menyembunyikan air mata yang keluar tanpa saya sadari. Saya terisak.

Setelah mendapatkan ketenangan, saya kembali masuk ke kamar ganti, dan menahan tangis melihat gemetar tangan ibu, membantunya mengikatkan tali gaun tersebut. Pakaian ini begitu indah, dan ibu membelinya. Perjalanan belanja kami telah berakhir, tetapi kejadian tersebut terukir dan tidak dapat terlupakan dari ingatan saya. Sepanjang sisa hari itu, pikiran saya tetap saja kembali pada saat berada di dalam ruang ganti pakaian tersebut, dan ter bayang tangan ibu saya yang sedang berusaha mengikat tali blusnya. Tangan yang gemetar....

Kedua tangan yang penuh dengan kasih, yang pernah menyuapi saya, memandikan saya, memakaikan baju, membelai dan memeluk saya, dan terlebih dari semuanya, berdoa untuk saya, sekarang tangan itu telah menyentuh hati saya dengan cara yang paling membekas dalam hati saya. Kemudian pada sore harinya, saya pergi ke kamar ibu saya, mengambil tangannya, menciumnya.... Dan yang membuatnya terkejut. Saya mengatakan pada ibu, kedua tangan tersebut adalah tangan yang paling indah di dunia ini. Saya sangat bersyukur bahwa Tuhan telah membuat saya dapat melihat dengan mata baru, betapa bernilai dan berharganya kasih sayang yang penuh pengorbanan dari seorang ibu. Saya hanya dapat berdoa bahwa suatu hari kelak tangan saya dan hati saya akan memiliki keindahannya tersendiri, keindahan tangan Ibu....

Read More
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Ciuman Terakhir


Rapat Direksi baru saja berakhir. Bob mulai bangkit berdiri dan menyenggol meja sehingga kopi tertumpah keatas catatan-catatannya.

"Waduhhh,memalukan sekali aku ini, diusia tua kok tambah ngaco.."

Semua orang ramai tergelak tertawa, lalu sebentar kemudian, kami semua mulai menceritakan Saat-saat yang paling menyakitkan dimasa lalu dulu.

Gilirannya kini sampai pada Frank yang duduk terdiam mendengarkan kisah lain-lainnya.

"Ayolah Frank, sekarang giliranmu. Cerita dong, apa saat yang paling tak enak bagimu dulu." Frank tertawa, mulailah ia berkisah masa kecilnya.

"Aku besar di San Pedro. Ayahku seorang nelayan, dan ia cinta amat pada lautan. Ia punya kapalnya sendiri, meski berat sekali mencari mata pencaharian di laut. Ia kerja keras sekali dan akan tetap tinggal di laut sampai ia menangkap cukup ikan untuk memberi makan keluarga. Bukan cuma cukup buat keluarga kami sendiri, tapi juga untuk ayah dan ibunya dan saudara-saudara lainnya yang masih di rumah."

Ia menatap kami dan berkata, "Ahhh, seandainya kalian sempat bertemu ayahku. Ia sosoknya besar, orangnya kuat dari menarik jala dan memerangi lautan demi mencari ikan. Asal kau dekat saja padanya, wuih, bau dia sudah mirip kayak lautan. Ia gemar memakai mantel cuaca-buruk tuanya yang terbuat dari kanvas dan pakaian kerja dengan kain penutup dadanya. Topi penahan hujannya sering ia tarik turun menutupi alisnya. Tak perduli berapapun ibuku mencucinya, tetap akan tercium bau lautan dan amisnya ikan."

Suara Frank mulai merendah sedikit.

"Kalau cuaca buruk, ia akan antar aku ke sekolah. Ia punya mobil truk tua yang dipakainya dalam usaha perikanan ini. Truk itu bahkan lebih tua umurnya daripada ayahku. Bunyinya meraung dan berdentangan sepanjang perjalanan. Sejak beberapa blok jauhnya kau sudah bisa mendengarnya. Saat ayah bawa truk menuju sekolah, aku merasa menciut ke dalam tempat duduk, berharap semoga bisa menghilang. Hampir separuh perjalanan, ayah sering mengerem mendadak dan lalu truk tua ini akan menyemburkan suatu kepulan awan asap. Ia akan selalu berhenti di depan sekali, dan kelihatannya setiap orang akan berdiri mengelilingi dan menonton. Lalu ayah akan menyandarkan diri ke depan, dan memberiku sebuah ciuman besar pada pipiku dan memujiku sebagai anak yang baik. Aku merasa agak malu, begitu risih. Maklumlah, aku sebagai anak umur dua-belas, dan ayahku menyandarkan diri kedepan dan menciumi aku selamat tinggal!"

Ia berhenti sejenak lalu meneruskan, "Aku ingat hari ketika kuputuskan aku sebenarnya terlalu tua untuk suatu kecupan selamat tinggal. Waktu kami sampai kesekolah dan berhenti, seperti biasanya ayah sudah tersenyum lebar. Ia mulai memiringkan badannya kearahku, tetapi aku mengangkat tangan dan berkata, 'Jangan, ayah.' Itu pertama kali aku berkata begitu padanya, dan wajah ayah tampaknya begitu terheran.

Aku bilang, 'Ayah, aku sudah terlalu tua untuk ciuman selamat tinggal.

Sebetulnya sudah terlalu tua bagi segala macam kecupan.'

Ayahku memandangiku untuk saat yang lama sekali, dan matanya mulai basah.

Belum pernah kulihat dia menangis sebelumnya. Ia memutar kepalanya, pandangannya menerawang menembus kaca depan. 'Kau benar,' katanya.

'Kau sudah jadi pemuda besar......seorang pria. Aku tak akan menciumimu lagi.'"

Wajah Frank berubah jadi aneh, dan air mata mulai memenuhi kedua matanya, ketika ia melanjutkan kisahnya. "Tidak lama setelah itu, ayah pergi melaut dan tidak pernah kembali lagi. Itu terjadi pada suatu hari, ketika sebagian besar armada kapal nelayan merapat dipelabuhan, tapi kapal ayah tidak.Ia punya keluarga besar yang harus diberi makan.

Kapalnya ditemukan terapung dengan jala yang separuh terangkat dan separuhnya lagi masih ada dilaut.Pastilah ayah tertimpa badai dan ia mencoba menyelamatkan jala dan semua pengapung-pengapungnya."

Aku mengawasi Frank dan melihat air mata mengalir menuruni pipinya.

Frank menyambung lagi, "Kawan-kawan, kalian tak bisa bayangkan apa yang akan kukorbankan sekedar untuk mendapatkan lagi sebuah ciuman pada pipiku....untuk merasakan wajah tuanya yang kasar......untuk mencium bau air laut dan samudra padanya.....untuk merasakan tangan dan lengannya merangkul leherku. Ahh, sekiranya saja aku jadi pria dewasa saat itu. Kalau aku seorang pria dewasa, aku pastilah tidak akan pernah memberi tahu ayahku bahwa aku terlalu tua 'tuk sebuah ciuman selamat tinggal."

Semoga kita tidak menjadi terlalu tua untuk menunjukkan cinta kasih kita...

Read More
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Bocah pembeli es krim


Minggu siang di sebuah mal. Seorang bocah lelaki umur delapan tahun berjalan menuju ke sebuah gerai tempat penjual eskrim. Karena pendek, ia terpaksa memanjat untuk bisa melihat si pramusaji. Penampilannya yang lusuh sangat kontras dengan suasana hingar bingar mal yang serba wangi dan indah.

"Mbak sundae cream harganya berapa?" si bocah bertanya.

"Lima ribu rupiah," yang ditanya menjawab.

Bocah itu kemudian merogoh recehan duit dari kantongnya. Ia menghitung recehan di tangannya dengan teliti. Sementara si pramusaji menunggu dengan raut muka tidak sabar. Maklum, banyak pembeli yang lebih "berduit" ngantre di belakang pembeli ingusan itu.

"Kalau plain cream berapa?"

Dengan suara ketus setengah melecehkan, si pramusaji menjawab, "Tiga ribu lima ratus".

Lagi-lagi si bocah menghitung recehannya, " Kalau begitu saya mau sepiring plain cream saja, Mbak," kata si bocah sambil memberikan uang sejumlah harga es yang diminta. Si pramusaji pun segera mengangsurkan sepiring plain cream.

Beberapa waktu kemudian, si pramusaji membersihkan meja dan piring kotor yang sudah ditinggalkan pembeli. Ketika mengangkat piring es krim bekas dipakai bocah tadi, ia terperanjat. Di meja itu terlihat dua keping uang logam limaratusan serta lima keping recehan seratusan yang tersusun rapi.

Ada rasa penyesalan tersumbat dikerongkongan. Sang pramusaji tersadar, sebenarnya bocah tadi bisa membeli sundae cream. Namun, ia mengorbankan keinginan pribadi dengan maksud agar bisa memberikan tip bagi si pramusaji.

Pesan moral yang dibawa oleh anak tadi: Setiap manusia di dunia ini adalah penting. Di mana pun kita wajib memperlakukan orang lain dengan sopan, bermartabat, dan dengan penuh hormat.

Read More
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Menabur dan menuai


Pada suatu hari seorang pemuda sedang berjalan di tengah hutan, tiba-tiba ia mendengar jeritan minta tolong. Ternyata ia melihat seorang pemuda sebaya dengan dia sedang bergumul dengan lumpur yang mengambang. Semakin bergerak malah semakin dalam ia terperosok. Pemuda yang pertama tadi hendak sekuat tenaga memberikan pertolongannya. Dengan susah payah pemuda yang terperosok itu dapat diselamatkan. Pemuda yang pertama tadi memapah pemuda yang terperosok itu pulang ke rumahnya.

Ternyata si pemuda kedua ini anak orang kaya. Rumahnya sangat bagus, besar dan mewah luar biasa. Ayah pemuda ini sangat berterimakasih atas pertolongan yang diberikan kepada anaknya dan hendak memberikan uang, tetapi pemuda pertama tadi menolak pemberian tersebut. Ia berkata bahwa sudah selayaknya sesama manusia menolong orang lain yang sedang dalam kesusahan. Sejak kejadian ini mereka menjalin persahabatan.

Si pemuda pertama adalah seorang miskin sedangkan pemuda kedua adalah anak seorang bangsawan kaya raya. Si pemuda miskin mempunyai cita-cita menjadi seorang dokter, namun ia tidak memiliki biaya untuk kuliah. Kemudian ada seorang yang murah hati yang mau memberikan beasiswa untuknya sampai akhirnya meraih gelar dokter. Orang ini tak lain adalah ayah pemuda yang ditolongnya tadi.

Tahukah anda nama pemuda miskin yang akhirnya menjadi dokter ini? Namanya Alexander Flemming, yang kemudian menemukan obat penisilin. Si pemuda bangsawan masuk dinas militer dan dalam suatu tugas ke medan perang ia terluka parah sehingga menyebabkan demam yang sangat tinggi karena infeksi. Pada waktu itu belum ada obat untuk infeksi semacam itu. Para dokter mendengar tentang penisilin penemuan Dr.Flemming dan mereka menyuntik dengan penisilin yang merupakan penemuan baru itu. Apa yang terjadi kemudian? Berangsur-angsur demam akibat infeksi itu reda dan si pemuda itu akhirnya sembuh!

Tahukan anda siapa nama pemuda pemuda itu? Namanya adalah Winston Churcill, Perdana Menteri Inggris yang termasyhur itu. Dalam kisah ini kita dapat melihat hukum menabur dan menuai. Flemming menabur kebaikan dan ia menuai kebaikan pula. Cita-citanya terkabul untuk menjadi dokter. Flemming menemukan penisilin yang akhirnya menolong jiwa Churcill. Tidak sia-sia bukan beasiswa yang diberikan ayah Churcill?

Read More
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Boneka ini untuk adikku


Hari terakhir sebelum Natal, aku terburu-buru ke supermarket untuk membeli hadiah2 yang semula tidak direncanakan untuk dibeli. Ketika melihat orang banyak, aku mulai mengeluh: "Ini akan makan waktu selamanya, sedang masih banyak tempat yang harus kutuju." Natal benar2 semakin menjengkelkan dari tahun ke tahun. Kuharap aku bisa berbaring, tidur, dan hanya terjaga setelahnya. Walau demikian, aku tetap berjalan menuju bagian mainan, dan di sana aku mulai mengutuki harga-harga, berpikir apakah sesudahnya semua anak akan sungguh-sungguh bermain dengan mainan yang mahal.

Saat sedang mencari-cari, aku melihat seorang anak laki2 berusia sekitar 5 tahun, memeluk sebuah boneka. Ia terus membelai rambut boneka itu dan terlihat sangat sedih. Aku bertanya-tanya untuk siapa boneka itu. Anak itu mendekati seorang perempuan tua di dekatnya: 'Nenek, apakah engkau yakin aku tidak punya cukup uang?' Perempuan tua itu menjawab: 'Kau tahu bahwa kau tidak punya cukup uang untuk membeli boneka ini, sayang.' Kemudian Perempuan itu meminta anak itu menunggu di sana sekitar 5 menit sementara ia berkeliling ke tempat lain. Perempuan itu pergi dengan cepat. Anak laki2 itu masih menggenggam boneka itu di tangannya.

Akhirnya, aku mendekati anak itu dan bertanya kepada siapa dia ingin memberikan boneka itu.'Ini adalah boneka yang paling disayangi adik perempuanku dan dia sangat menginginkannya pada Natal ini. Ia yakin Santa Claus akan membawa boneka ini untuknya' Aku menjawab mungkin Santa Claus akan membawa boneka untuk adiknya, dan supaya ia jangan khawatir. Tapi anak laki2 itu menjawab dengan sedih 'Tidak, Santa Claus tidak dapat membawa boneka ini ke tempat dimana adikku berada saat ini. Aku harus memberikan boneka ini kepada mama sehingga mama dapat memberikan kepadanya ketika mama sampai di sana.' Mata anak laki2 itu begitu sedih ketika mengatakan ini 'Adikku sudah pergi kepada Tuhan. Papa berkata bahwa mama juga segera pergi menghadap Tuhan, maka kukira mama dapat membawa boneka ini untuk diberikan kepada adikku.' Jantungku seakan terhenti.
Anak laki2 itu memandangku dan berkata: 'Aku minta papa untuk memberitahu mama agar tidak pergi dulu. Aku meminta papa untuk menunggu hingga aku pulang dari supermarket.' Kemudian ia menunjukkan fotonya yang sedang tertawa. Kamudian ia berkata: 'Aku juga ingin mama membawa foto ini supaya tidak lupa padaku. Aku cinta mama dan kuharap ia tidak meninggalkan aku tapi papa berkata mama harus pergi bersama adikku.' Kemudian ia memandang dengan sedih ke boneka itu dengan diam.

Aku meraih dompetku dengan cepat dan mengambil beberapa catatan dan berkata kepada anak itu. 'Bagaimana jika kita periksa lagi, kalau2 uangmu cukup?' 'Ok' katanya. 'Kuharap punyaku cukup.' Kutambahkan uangku pada uangnya tanpa setahunya dan kami mulai menghitung. Ternyata cukup untuk boneka itu, dan malah sisa. Anak itu berseru: 'Terima Kasih Tuhan karena memberiku cukup uang' Kemudian ia memandangku dan menambahkan: 'Kemarin sebelum tidur aku memohon kepada Tuhan untuk memastikan bahwa aku memiliki cukup uang untuk membeli boneka ini sehingga mama bisa memberikannya kepada adikku. DIA mendengarkan aku. Aku juga ingin uangku cukup untuk membeli mawar putih buat mama, tapi aku tidak berani memohon terlalu banyak kepada Tuhan. Tapi DIA memberiku cukup untuk membeli boneka dan mawar putih.' 'Kau tahu, mamaku suka mawar putih'

Beberapa menit kemudian, neneknya kembali dan aku berlalu dengan keretaku. Kuselesaikan belanjaku dengan suasana hati yang sepenuhnya berbeda dari saat memulainya. Aku tidak dapat menghapus anak itu dari pikiranku. Kemudian aku ingat artikel di koran lokal 2 hari yang lalu, yang menyatakan seorang pria mengendarai truk dalam kondisi mabuk dan menghantam sebuah mobil yang berisi seorang wanita muda dan seorang gadis kecil. Gadis kecil itu meninggal seketika, dan ibunya dalam kondisi kritis. Keluarganya harus memutuskan apakah harus mencabut alat penunjang kehidupan, karena wanita itu tidak akan mampu keluar dari kondisi koma. Apakah mereka keluarga dari anak laki2 ini?

2 hari setelah pertemuan dengan anak kecil itu, kubaca di Koran bahwa wanita muda itu meninggal dunia. Aku tak dapat menghentikan diriku dan pergi membeli seikat mawar putih dan kemudian pergi ke rumah duka tempat jenasah dari wanita muda itu diperlihatkan kepada orang2 untuk memberikan penghormatan terakhir sebelum penguburan. Wanita itu di sana, dalam peti matinya, menggenggam setangkai mawar putih yang cantik dengan foto anak laki2 dan boneka itu ditempatkan di atas dadanya. Kutinggalkan tempat itu dengan menangis, merasa hidupku telah berubah selamanya. Cinta yang dimiliki anak laki2 itu kepada ibu dan adiknya, sampai saat ini masih sulit untuk dibayangkan.

Read More
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Operator Telepon


Waktu saya masih amat kecil, ayah sudah memiliki telepon di rumah kami. Inilah telepon masa awal, warnanya hitam, di tempelkan di dinding, dan kalau mau menghubungi operator, kita harus memutar sebuah putaran dan minta disambungkan dengan nomor telepon lain. Sang operator akan menghubungkan secara manual.

Dalam waktu singkat, saya menemukan bahwa, kalau putaran di putar, sebuah suara yang ramah, manis, akan berkata : "Operator". Dan si operator ini maha tahu.

Ia tahu semua nomor telepon orang lain!
Ia tahu nomor telepon restoran, rumah sakit, bahkan nomor telepon toko kue di ujung kota.

Pengalaman pertama dengan sang operator terjadi waktu tidak ada seorangpun dirumah, dan jempol kiri saya terjepit pintu. Saya berputar putar kesakitan dan memasukkan jempol ini kedalam mulut tatakala saya ingat .... Operator!!!

Segera saya putar bidai pemutar dan menanti suaranya.
" Disini operator..."
" Jempol saya kejepit pintu..." kata saya sambil menangis. Kini emosi bisa meluap, karena ada yang mendengarkan.
" Apakah ibumu ada di rumah ? " tanyanya.
" Tidak ada orang "
" Apakah jempolmu berdarah ?"
" Tidak , cuma warnanya merah, dan sakiiit sekali "
" Bisakah kamu membuka lemari es? " tanyanya.
" Bisa, naik di bangku. "
" Ambillah sepotong es dan tempelkan pada jempolmu..."

Sejak saat itu saya selalu menelpon operator kalau perlu sesuatu.

Waktu tidak bisa menjawab pertanyaan ilmu bumi, apa nama ibu kota sebuah Negara, tanya tentang matematik. Ia juga menjelaskan bahwa tupai yang saya tangkap untuk dijadikan binatang peliharaan , makannya kacang atau buah.

Suatu hari, burung peliharaan saya mati.
Saya telpon sang operator dan melaporkan berita duka cita ini.

Ia mendengarkan semua keluhan, kemudian mengutarakan kata kata hiburan yang biasa diutarakan orang dewasa untuk anak kecil yang sedang sedih. Tapi rasa belasungkawa saya terlalu besar. Saya tanya : " Kenapa burung yang pintar menyanyi dan menimbulkan sukacita sekarang tergeletak tidak bergerak di kandangnya ?"

Ia berkata pelan : " Karena ia sekarang menyanyi di dunia lain..." Kata - kata ini tidak tau bagaimana bisa menenangkan saya.

Lain kali saya telpon dia lagi.
" Disini operator "
" Bagaimana mengeja kata kukuruyuk?"

Kejadian ini berlangsung sampai saya berusia 9 tahun. Kami sekeluarga kemudian pindah kota lain. Saya sangat kehilangan " Disini operator "

Saya tumbuh jadi remaja, kemudian anak muda, dan kenangan masa kecil selalu saya nikmati. Betapa sabarnya wanita ini. Betapa penuh pengertian dan mau meladeni anak kecil.

Beberapa tahun kemudian, saat jadi mahasiswa, saya studi trip ke kota asal.
Segera sesudah saya tiba, saya menelpon kantor telepon, dan minta bagian "
operator "
" Disini operator "
Suara yang sama. Ramah tamah yang sama.
Saya tanya : " Bisa ngga eja kata kukuruyuk "
Hening sebentar. Kemudian ada pertanyaan : "Jempolmu yang kejepit pintu sudah sembuh kan ?"
Saya tertawa. " Itu Anda.... Wah waktu berlalu begitu cepat ya "
Saya terangkan juga betapa saya berterima kasih untuk semua pembicaraan waktu masih kecil. Saya selalu menikmatinya. Ia berkata serius : " Saya yang menikmati pembicaraan dengan mu. Saya selalu menunggu nunggu kau menelpon "

Saya ceritakan bahwa , ia menempati tempat khusus di hati saya. Saya bertanya apa lain kali boleh menelponnya lagi. " Tentu, nama saya Saly "

Tiga bulan kemudian saya balik ke kota asal. Telpon operator. Suara yang sangat beda dan asing. Saya minta bicara dengan operator yang namanya Saly.
Suara itu bertanya " Apa Anda temannya ?"
" Ya teman sangat lama "
" Maaf untuk kabarkan hal ini, Saly beberapa tahun terakhir bekerja paruh waktu karena sakit sakitan. Ia meninggal lima minggu yang lalu..."

Sebelum saya meletakkan telepon, tiba tiba suara itu bertanya : "Maaf, apakah Anda bernama Paul ?"
"Ya "
" Saly meninggalkan sebuah pesan buat Anda. Dia menulisnya di atas sepotong kertas, sebentar ya....."
Ia kemudian membacakan pesan Saly :
" Bilang pada Paul, bahwa IA SEKARANG MENYANYI DI DUNIA LAIN... Paul akan mengerti kata kata ini...."

Saya meletakkan gagang telepon. Saya tahu apa yang Saly maksudkan.

Jangan sekali sekali mengabaikan, bagaimana Anda menyentuh hidup orang lain.

Read More
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Bersama Kita Bisa Melewati Semuanya


Bob Butler kehilangan kedua kakinya karena ledakan ranjau saat perang Vietnam tahun 1965. Dia pulang sebagai seorang pahlawan perang. Dua puluh tahun kemudian, dia membuktikan bahwa heroisme itu datang dari dalam hati.

Butler sedang bekerja di dalam garasi di sebuah kota kecil di Arizona pada suatu hari di musim panas. Saat itu dia mendengar teriakan histeris seorang wanita dari belakang rumah tetangganya. Dia mengayuh kursi rodanya ke rumah itu dan menuju ke halaman belakang. Tetapi ada pagar terkunci yang tidak memungkinkan kursi roda itu lewat. Veteran itu kemudian turun dari kursi, melompati pagar dengan kedua tangannya dan merayap dengan secepatnya melewati semak dan rerumputan.

“Saya harus segera sampai ke sana ,” katanya. “Tidak peduli apakah itu akan menyakitkan dan melukai tubuhku sendiri.”

Saat Butler sampai di belakang rumah, dia mengikuti teriakan itu sampai ke kolam renang, dimana ada seorang anak perempuan berumur tiga tahun yang tergeletak di dasar kolam. Anak itu lahir dengan tidak memiliki kedua lengan, jatuh ke kolam renang dan tidak bisa berenang.

Ibunya berdiri di tepi kolam sambil berteriak histeris. Butler segera menyelam ke dasar kolam renang dan membawa Stephanie keluar. Wajahnya telah kebiruan, tidak ada detak jantung dan tidak bernafas.

Butler segera memberi nafas buatan saat ibu Stephanie menelpon departemen pemadam kebakaran (911). Dia bilang semua petugas pemadam kebakaran sedang bertugas keluar, dan tidak ada petugas di kantor. Dengan tanpa harapan, dia menangis dan memeluk bahu Butler .

Sambil meneruskan memberi nafas buatan, Butler menenangkan ibunya Stpehanie. “Jangan kuatir,” katanya. “Saya sudah menjadi tangannya untuk membawanya keluar dari kolam. Dia akan baik-baik saja. Sekarang saya sedang menjadi paru-parunya. Bersama kita akan bisa melewatinya.”

Dua menit kemudian gadis kecil itu batuk-batuk, siuman kembali dan mulai menangis. Ketika mereka berpelukan dan bersyukur, ibunya Stephanie bertanya bagaimana Butler bisa tahu bahwa semua akan bisa diatasi dengan baik.

Saat kedua kaki saya meledak di perang Vietnam, saya seorang diri di tengah lapangan,” Butler bercerita. “Tidak ada seorang pun yang mau datang untuk menolong, kecuali seorang anak perempuan Vietnam. Dengan susah payah dia menyeret tubuh saya ke desa, dan dia berbisik dengan bahasa Inggrisnya yang terpatah-patah, ‘Semuanya OK. Kamu bisa hidup. Saya menjadi kakimu. Bersama kita bisa melewati semuanya.’ ”

“Sekarang ini giliran saya,” kata Butler kepada ibunya Stephanie, “Untuk membalas semua yang sudah saya terima.”

Kita semua adalah malaikat-malaikat bersayap sebelah. Hanya bila saling membantu, kita semua dapat terbang. (Luciano De Crescenzo)

Read More
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Aku Menangis untuk Adikku 6 Kali


Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.

"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.

Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ...Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya?
Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!"

Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga di universitas. Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"

Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?"

Dia menjawab,tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"

Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."

Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu,ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku."Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.

"Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..." Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."

Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"

Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"

"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat.
"Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.

Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

(Diterjemahkan dari "I Cried for My Brother Six Times")

Read More
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

2 Negro dalam lift


Baru-baru ini di Atlantic City - AS, seorang wanita memenangkan sekeranjang koin dari mesin judi. Kemudian ia bermaksud makan malam bersama suaminya. Namun, sebelum itu ia hendak menurunkan sekeranjang koin tersebut di kamarnya. Maka ia pun menuju lift.

Waktu ia masuk lift sudah ada 2 orang hitam di dalamnya. Salah satunya sangat besar . . . Besaaaarrrr sekali. Wanita itu terpana. Ia berpikir, "Dua orang ini akan merampokku." Tapi pikirnya lagi, "Jangan menuduh, mereka sepertinya baik dan ramah."

Tapi rasa rasialnya lebih besar sehingga ketakutan mulai menjalarinya. Ia berdiri sambil memelototi kedua orang tersebut. Dia sangat ketakutan dan malu. Ia berharap keduanya tidak dapat membaca pikirannya, tapi Tuhan, mereka harus tahu yang saya pikirkan!

Untuk menghindari kontak mata, ia berbalik menghadap pintu lift yang mulai tertutup. Sedetik . . . dua detik . . . dan seterusnya. Ketakutannya bertambah! Lift tidak bergerak! Ia makin panik! Ya Tuhan, saya terperangkap dan mereka akan merampok saya. Jantungnya berdebar, keringat dingin mulai bercucuran.

Lalu, salah satu dari mereka berkata, "Hit the floor" (Tekan Lantainya). Saking paniknya, wanita itu tiarap di lantai lift dan membuat koin berhamburan dari keranjangnya. Dia berdoa, ambillah uang saya dan biarkanlah saya hidup.

Beberapa detik berlalu. Kemudian dia mendengar salah seorang berkata dengan sopan, "Bu, kalau Anda mau mengatakan lantai berapa yang Anda tuju, kami akan menekan tombolnya." Pria tersebut agak sulit untuk mengucapkan kata-katanya karena menahan diri untuk tertawa.

Wanita itu mengangkat kepalanya dan melihat kedua orang tersebut. Merekapun menolong wanita tersebut berdiri. "Tadi saya menyuruh teman saya untuk menekan tombol lift dan bukannya menyuruh Anda untuk tiarap di lantai lift," kata seorang yang bertubuh sedang.

Ia merapatkan bibirnya berusaha untuk tidak tertawa. Wanita itu berpikir , "Ya Tuhan, betapa malunya saya. Bagaimana saya harus meminta maaf kepada mereka karena saya menyangka mereka akan merampokku." Mereka bertiga mengumpulkan kembali koin-koin itu ke dalam keranjangnya.

Ketika lift tiba di lantai yang dituju wanita itu, mereka berniat untuk mengantar wanita itu ke kamarnya karena mereka khawatir wanita itu tidak kuat berjalan di sepanjang koridor. Sesampainya di depan pintu kamar, kedua pria itu mengucapkan selamat malam, dan wanita itu mendengar kedua pria itu tertawa sepuas-puasnya sepanjang jalan kembali ke lift.

Wanita itu kemudian berdandan dan menemui suaminya untuk makan malam.

Esok paginya bunga mawar dikirim ke kamar wanita itu, dan di setiap kuntum bunga mawar tersebut terdapat lipatan uang sepuluh dolar.

Pada kartunya tertulis: "Terima kasih atas tawa terbaik yang pernah kita lakukan selama ini."

Tertanda:
- Eddie Murphy
- Michael Jordan

Read More
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Menghukum Tanpa kekerasan


Berikut ini adalah cerita masa muda Dr. Arun Gandhi (cucu dari Mahatma Gandhi)

Waktu itu Arun masih berusia 16 tahun dan tinggal bersama orang tua disebuah lembaga yang didirikan oleh kakeknya yaitu Mahatma Gandhi, di tengah-tengah kebun tebu, 18 mil di luar kota Durban, Afrika selatan. Mereka tinggal jauh di pedalaman dan tidak memiliki tetangga. Tidak heran bila Arun dan dua saudara perempuannya sangat senang bila ada kesempatan pergi ke kota untuk mengunjungi teman atau menonton bioskop.

Suatu hari ayah Arun meminta Arun untuk mengantarkan ayahnya ke kota untuk menghadiri konferensi sehari penuh. Dan Arun sangat gembira dengan kesempatan ini. Tahu bahwa Arun akan pergi ke kota, ibunya memberikan daftar belanjaan untuk keperluan sehari-hari. Selain itu, ayahnya juga minta untuk mengerjakan pekerjaan yang lama tertunda, seperti memperbaiki mobil di bengkel.

Pagi itu, setiba di tempat konferensi, ayah berkata, "Ayah tunggu kau disini jam 5 sore. Lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama. ". Segera Arun menyelesaikan pekerjaan yang diberikan ayahnya.

Kemudian, Arun pergi ke bioskop, dan dia benar-benar terpikat dengan dua permainan John Wayne sehingga lupa akan waktu. Begitu melihat jam menunjukkan pukul 17:30, langsung Arun berlari menuju bengkel mobil dan terburu-buru menjemput ayahnya yang sudah menunggunya sedari tadi. Saat itu sudah hampir pukul 18:00.

Dengan gelisah ayahnya menanyakan Arun "Kenapa kau terlambat?".

Arun sangat malu untuk mengakui bahwa dia menonton film John Wayne sehingga dia menjawab "Tadi, mobilnya belum siap sehingga saya harus menunggu". Padahal ternyata tanpa sepengetahuan Arun, ayahnya telah menelepon bengkel mobil itu. Dan kini ayahnya tahu kalau Arun berbohong.

Lalu Ayahnya berkata, "Ada sesuatu yang salah dalam membesarkan kau sehingga kau tidak memiliki keberanian untuk menceritakan kebenaran kepada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, ayah akan pulang ke rumah dengan berjalan kaki sepanjang 18 mil dan memikirkannya baik- baik.".

Lalu, Ayahnya dengan tetap mengenakan pakaian dan sepatunya mulai berjalan kaki pulang ke rumah. Padahal hari sudah gelap, sedangkan jalanan sama sekali tidak rata. Arun tidak bisa meninggalkan ayahnya, maka selama lima setengah jam, Arun mengendarai mobil pelan-pelan dibelakang beliau, melihat penderitaan yang dialami oleh ayahnya hanya karena kebodohan bodoh yang Arun lakukan.

Sejak itu Arun tidak pernah akan berbohong lagi.

*Pernyataan Arun:*
"Sering kali saya berpikir mengenai episode ini dan merasa heran. Seandainya Ayah menghukum saya sebagaimana kita menghukum anak-anak kita, maka apakah saya akan mendapatkan sebuah pelajaran mengenai tanpa kekerasan? Saya kira tidak. Saya akan menderita atas hukuman itu dan melakukan hal yang sama lagi. Tetapi, hanya dengan satu tindakan tanpa kekerasan yang sangat luar biasa, sehingga saya merasa kejadian itu baru saja terjadi kemarin. Itulah kekuatan tanpa kekerasan."

Read More
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Sapu tangan yang lusuh


Malam bintang terang. Namun, cahaya itu tidak seterang kasih seorang ibu. Kasihnya tidak akan pernah usai sepanjang hayat kepada anak-anaknya.

Ibu saya sehari-hari adalah seorang penjaga kantin di sebuah SMP swasta di Bekasi. Dia juga membuat nasi uduk dan kue yang dititipkan di kantin dan warung-warung lain. Bangun pukul setengah empat pagi, baru beranjak ke peraduan pukul sebelas malam. Begitu terus, hidupnya dijalani tanpa mengeluh.

Penghasilan bapak yang tidak seberapa ditopang oleh hasil jualan ibu. Sejak SD sampai SMA, dari hasil jual kue itulah, saya dan adik-adik dapat uang saku. Saya jadi teringat Ibu A. Yani (janda alm. Jend. Ahmad Yani). Setelah Pak Yani meninggal karena dibunuh pada 1 Oktober 1965, Ibu Yani menghidupi keluarganya dari berjualan minyak tanah. Namun, beliau tak pernah malu atau gengsi. Justru, anak-anaknya kelak menjadi orang yang berhasil dalam pendidikan dan karir mereka.

Itulah yang menjadi kebanggaan saya terhadap sosok bunda. Gurat wajahnya yang telah mengerut menampakkan bahwa dia terlampau akrab dengan kerja kerasnya. Tangannya dipenuhi otot yang tampak ramah.

Jarang saya melihat dia pakai bedak, apalagi make-up. Seumur-umur, saya baru melihat bunda pakai make-up pada saat saya sudah beranjak dewasa. Itu pun pada saat saya diwisuda bersama ribuan wisudawan Unesa di Islamic Center, Surabaya sekian tahun yang lampau. Dia bilang ingin tampil cantik pada momen tersebut.

Setelah itu, kami sudah jarang bertemu. Saya memilih untuk menetap di Surabaya. Dalam setahun, kadang cuma sekali saya pulang ke Bekasi. Itu pun pas libur Lebaran atau Natal.

Meretas cinta itu tak pernah habis. Itulah ibu. Ketika berjanji untuk memperkenalkan calon pendamping hidup saya, saya berkesempatan bertemu dengan ibu lagi di Surabaya.

Beliau memberi sapu tangan kain lusuh kepada saya. Sampai di situ, saya masih belum mengerti makna yang tersingkap dari pemberian tersebut.

Bunda bilang bahwa sapu tangan itulah yang dia gunakan untuk mengompres saya saat mengalami kecelakaan motor yang membuat kaki saya patah pada 31 Desember 1998.

Setelah saya harus berpisah dengan orang tua pada akhir Agustus 1999 untuk kuliah di Surabaya, ternyata sapu tangan tersebut masih disimpan oleh bunda.

Kesibukan menjalani hari-hari pada masa kuliah seolah membuat saya menjadi jarang berkomunikasi dengan keluarga di Bekasi. Namun tidak dengan bunda. Sapu tangan itu tetap dia simpan untuk memendam kangennya pada saya. Hanya, saya sama sekali tidak menyangka sampai seperti itu. Saya sendiri baru tahu dua minggu lalu, saat memperkenalkan pujaan hati.

Setelah berkisah, bunda memberikan sapu tangan itu kepada saya dan merestui hubungan kami. Saya seakan tidak bisa berkata sepatah kata pun. Lidah ini terasa kaku. Hati bergetar karena terharu.

Bagaimana mungkin bahwa sapu tangan yang sudah lusuh itu masih disimpan sekian tahun hanya untuk memendam kangen pada anaknya?

Bukan kata-kata, tapi dengan sapu tangan lusuh itulah bunda menohok saya dengan cinta yang sederhana. Cinta tulus yang tak pernah berharap balasan dari siapa maupun anaknya sendiri sekalipun. Bintang itu terang.

Lewat sapu tangan lusuh tersebut, zaman boleh berubah. Tapi, cinta dan kerinduan seorang ibu tak bisa digerus waktu. Ia ada sampai kapan pun. Tak bisa dibalas dengan apa pun...

Read More
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS